Loading
ARAHDESTINASI.COM: Ada desa adat dan wisata unik di Bali yang kerap didatangi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namanya Desa Penglipuran, terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Desa kuno yang usianya sudah ratusan tahun itu menyodorkan kekuatan tradisi yang berpegang pada keharmonisan hubungan manusia dengan Yang Maha Esa, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan atau kerap disebut dalam rangkuman filosofi Tri Hita Karana.
Tampak muka, halaman desa terlihat biasa saja. Cobalah masuk untuk menikmati suasana desa. Tak ada kendaraan lalu lalang di jalanan yang asri. Semua kendaraan warga tidak bisa masuk ke jalanan desa. Ada tempat tersendiri dengan jalur berbeda untuk kendaraan warga. Jadi, jangan heran jika udaranya terasa bersih. Deretan rumah tradisional tampak berjajar rapi dan indah di tanah berkontur pebukitan.
Desa Penglipuran menjadi desa wisata sejak 1993. Sejak saat itu, bak magnet mengundang wisatawan dari berbagai negara. Pada 1996 Penglipuran mendapat predikat sebagai desa terbersih sedunia bersama Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India. Desa yang memiliki banyak kearifan lokal ini juga pernah mendapat penghargaan kalpaltaru.
Kearifan LokalMasyarakat Desa Penglipuran memegang teguh adat dan kearifan lokal yang sudah diwarisi turun-temurun. Meski sebagian anak muda sudah bekerja melalang buana, namun mereka tetap teguh memegang adat. Tetua adat Desa Penglipuran I Wayan Supat, berkisah, anak-anak mereka banyak bekerja di luar negeri, termasuk di kapal pesiar. Meski demikian, ketika kembali ke tanah kelahiran, peraturan adat tetap dipegang teguh.
Dari sekian banyak kearifan lokal yang dimiliki, antara lain ada aturan adat terkait lingkungan dan kearifan sosial yang mengatur kesejahteraan kaum perempuan.
Kearifan Lingkungan: Desa Penglipuran memiliki 76 rumah dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 240. Menempati lahan seluas 112 hektare, 9 hektare digunakan untuk hunian, 3 hektare untuk fasilitas umum, dan 55 hektare merupakan lahan yang dipakai untuk pertanian. Sisanya sebesar 45 hektare adalah hutan bambu yang mengelilingi desa dan berfungsi sebagai pembatas desa serta wilayah serapan air agar terhindar dari bencana.
“Nenek moyang kita sudah punya master plan yang intinya menjaga harmonisasi manusia dengan alam. Tapi manusia sendiri kerap melanggar hingga terjadi bencana. Pernah ada yang mau membeli hutan bambu di sini, tapi jelas dengan tegas kami menolak,” kisah Wayan Supat.
Penduduk Desa Penglipuran mewariskan kebiasaan hidup bersih secara turun-temurun. Cobalah berkeliling desa untuk memahami mengapa desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa terbersih sedunia. Tak ada sampah. Aktivitas penduduk dan anak-anak tidak meninggalkan sampah. Sejak kecil anak-anak diajarkan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan masyarakat Desa Penglipuran sudah sejak lama memisahkan sampah organik dan non organik. Sampah organik mereka proses menjadi pupuk, sedangkan non-organik dijual ke bank sampah.
Jika berwisata ke Penglipuran, teruslah menelusuri desa, hingga mencapai hutan bambu. Rasakan semilir dan sejuknya angin yang dikeluarkan dari rongga-rongga bambu, tanaman yang batangnya dikenal mampu menyimpan udara dingin, sehingga ketika udara panas areal sekelilingnya tetap sejuk.
Kearifan Sosial: Desa Penglipuran juga memiliki kearifan lokal berupa hukum adat yang melindungi kesejahteraan perempuan. Masyarakat desa ini menganut perkawinan monogami. Jika ada yang melanggar, maka hukumnya dikucilkan dari desa. Jika menikah lagi, maka mereka tidak diperbolehkan masuk pura utama Desa Penglipuran. Pengesahan perkawinan secara adat pun tidak bisa dilakukan. Ketika pasangan yang berselingkuh dan menikah lagi ingin tetap tinggal di desa, mereka akan menempati areal Karang Memadu.
“Warga desa ini akan membuatkan rumah sendiri bagi pasangan tersebut, tetapi lokasinya ada di karang memadu, terpisah dari rumah-rumah pada umumnya. Sampai sekarang belum ada yang melanggar adat itu. Kami berusaha menjaga betul filosofi Tri Hita Karana. (*)