Loading
ARAHDESTINASI.COM: Kathmandu kota berdebu yang mempesona. Di kawasan Thamel (kawasan turis di Kathmandu) dan objek-objek wisata bersejarah, bangunan-bangunan tua berdiri cantik meski kemegahannya tertutup debu dan terkadang tak lagi tegak akibat gempa berkekuatan 7,8 magnitudo yang terjadi tahun 2015.
Gempa besar itu memang sudah berlalu 3 tahun. Namun, kerusakannya sampai sekarang masih terlihat. Di berbagai bagian kota Kathmandu, terutama situs-situs warisan budaya, pembangunan kembali terus berlangsung. Toko, rumah masih banyak yang berpenyangga bambu, salah satu ciri khas tengah dalam perbaikan.
Baca juga:
Sandiaga Uno Terpesona di Nepal van JavaMemperbaiki kerusakan yang terjadi karena gempa butuh waktu dan biaya. Tempat-tempat wisata bersejarah yang masuk dalam situs warisan dunia Unesco dan mengalami kerusakan parah, menarik bea masuk lebih tinggi.
Patan Durbar Square misalnya, mematok harga tiket sebesar 1.000 rupee atau sekitar Rp140.000. Bhaktapur sebesar 1.500 rupee atau sekitar Rp210.000. Bandingkan dengan Boundanath (Budha Stupa) yang masih utuh dengan tiket masuk seharga 400 rupee atau sekitar Rp56.000.
Baca juga:
Ini Cara Menjelajahi India-NepalKerusakan yang terjadi akibat gempa memang membuat prihatin. Meski demikian, keindahan dan kemegahan bangunan-bangunan berusia ratusan tahun itu tetap memancar kuat. Pesona Kathmandu tetap jadi magnet.
Baca juga:
Panduan Sederhana Jalan-Jalan ke NepalThamel tempat berkumpul wisatawan. Homestay, hotel, kafe, restoran, kios, kaki lima, hingga kios-kios suvenir berjajar sepanjang jalan. Menyaksikan Kathmandu menggeliat di pagi hari sungguh menyenangkan. Dari sunyi berlahan ramai hingga akhirnya debu berpacu dengan bunyi klason kendaraan roda dua dan empat.
Ibu Kota Nepal itu sungguh kota pariwisata. Hampir semua penduduknya ramah ketika ditanya. Pelayanan di hotel dan kafe-kafe pun hampir semuanya menyenangkan. Masyarakatnya sadar wisata, meski belum semuanya sadar kebersihan.
Berikut beberapa jepretan di Kathmandu. Baca juga Panduan Jalan-Jalan ke Kathmandu.
Penulis: Lintang RoweIG: @lintangrowe