Loading
JAKARTA, ARAHDESTINASI.COM - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengimbau para pengelola restoran di provinsi ini mematuhi aturan terkait royalti musik demi menghindari pelanggaran hukum.
"Kami sudah mengimbau kepada anggota PHRI, terutama restoran, untuk selalu menghindari masalah hukum terkait royalti dan bisa mengikuti aturan-aturan yang ada," kata Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono saat dihubungi di Yogyakarta, Rabu (30/7).
Deddy menyebutkan bahwa sejauh ini sebagian pelaku usaha restoran di DIY telah mengetahui kewajiban tersebut dari pemberitaan media serta imbauan dari Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI.
"Sosialisasi detail belum kita dapat. Informasi sejauh ini masih melalui berita-berita dan imbauan BPP PHRI pusat," ujarnya.
Ia mengakui penerapan aturan terkait royalti musik tersebut tidak sepenuhnya mudah, akan tetapi pengelola restoran tetap bisa meminta penjelasan langsung kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Penerapannya memang agak sulit di lapangan, tapi kami bisa langsung bertanya ke lembaga yang ditunjuk, yaitu LMKN," katanya lagi.
PHRI DIY berharap pemerintah, khususnya Kementerian Hukum (Kemenkum) lebih gencar turun langsung ke wilayah untuk melakukan sosialisasi terkait aturan itu kepada pelaku usaha secara menyeluruh.
Menurut Deddy, saat ini ada sekitar 75 restoran anggota PHRI DIY di lima kabupaten/kota yang diharapkan mendapat sosialisasi atau proaktif mencari informasi, agar tidak ada pelanggaran hak cipta musik.
"Kami berharap Kemenkum bisa lakukan sosialisasi ke daerah-daerah biar lebih jelas," ujarnya dikutip Antara.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkum Agung Damarsasongko mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan, seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.
"Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik," kata Agung dalam keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.